Kamis, 21 Februari 2019

Identitas adalah buah dari kontinuitas


Kita sering menjumpai atau bahkan singgah dibeberapa tempat jajanan, entah itu jajanan berat seperti warung soto,  bakso,  sate, nasi goreng,  rumah makan padang dan sejenisnya.  Ataupun jajanan ringan tradisional seperti gorengan,  putu, cenil, , getuk,  cilok,  kacang godog,  tahu petis,  dan lain sebagainya. Masing-masing penjualan tersebut,  selain berbeda komoditas barang yang diperjual-belikan, tempat penjualan, dan tata letak susunan saat menggelar dagangannya pun juga berbeda. Semua memiliki identitas, karakter dan ciri khas tersendiri. Bahkan identitas tersebut juga melekat menjadi gelar tambahan bagi si penjual,  semisal: bu amin soto,  pak somat bakso,  dan lain sebagainya.

Kita tidak akan pernah membeli nasi goreng di penjual sate,  begitu juga sebaliknya.  Karena sudah melekat,  dan menjadi identitas bagi masing-masing penjual bagaimana susunan tata letak dagangannya,  dan bagaimana cara menyajikannya.

Hal-hal tersebut juga berlaku pada profesi lainnya yang sering kita lakukan. Entah itu secara rutin,  ataupun serabutan (apapun yang menghasilkan,  kita kerjakan). Jika kita rutin bekerja pada bidang tertentu,  maka pekerjaan tersebut akan melekat menjadi atribut kita dimata masyarakat. Sama halnya novelis,  kutu buku, penulis, creator , seniman,  pelukis,  dan lain sebagainya. Perangkat-perangkat identitas tersebut akan disematkan oleh masyarakat pada Orang-orang yang senantiasa rutin dan penuh dedikasi dalam melakukan hal tersebut.

Identitas sejatinya bukan hanya sekedar karena kita sering malakukan sesuatu hal aja,  akan tetapi juga dapat kita peroleh dari seberapa sering orang lain melihat kita pada situasi yang sama.  Misalnya teman kita A selalu datang kerumah saat kita sedang membaca koran atau majalah,  entah itu satu minggu atau dua minggu sekali,  maka secara tidak langsung -bagi yang selalu khusnudzon -dia akan menilai kita sebagai orang yang rajin membaca,  padahal ya kebetulan pas hari-hari itu saja kita membaca. 😅

Jadi, kontinuitas disini adalah seberapa sering kita melakukan suatu hal tertentu,  dan seberapa sering orang lain mengetahui hal tersebut kita lakukan.  Begitu juga dalam hal ubudiyah,  kita dapat mendapatkan predikat sabar,  qona’ah,  mukhlish,  taqwa,  syakirin,  disisi Allah,  jika kita senantiasa menempatkan diri dan melakukan hal tersebut secara terus menerus, dan juga seberapa sering Allah melihat kita pada posisi tersebut (secara, kita sudah merasa sabar, tapi ternyata belum menjadi kriteria sabar disisi-NYA). 😅

Tidak hanya satu atau dua kali,  tapi berkali-kali.

Wallahu a'lam

Prof. DR. Ngainun Naim, M. H. I.

Sebelum saya menceritakan beberapa kanangan saya terkait dengan Prof. DR. Ngainun Naim, M. H. I, saya ingin terlebih dahulu mengucapkan &quo...